Senin, 22 Mei 1995

UU Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI): Perangkat Hukum Masih Tertinggal di Belakang

SEJAK Indonesia membuat perjanjian bilateral dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) pada tahun 1988 khusus mengenai rekaman suara, lagu-lagu barat tidak lagi seenaknya bisa diproduksi tanpa permisi. Kaset-kaset barat tidak lagi didapat dengan harga murah, kecuali edisi bajakan yang tidak bisa dihapus begitu saja. Perkembangan ini paling tidak telah memberikan beban baru bagi para penegak hukum dalam memberantas pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Bagaimanapun selama ini mereka sudah banyak direpotkan dengan pelangar hak cipta di dalam negeri, seperti halnya pembajakan buku-buku. Langkah perlindungan terhadap ciptaan asing ini diikuti dengan perjanjian bilateral dengan Amerika Serikat (1989), Australia (1993), dan Inggris (1994). AS yang sangat berkepentingan dengan produk perangkat lunak komputer, melalui BSA (Aliansi Perusahaan Perangkat Lunak) menyebutkan bahwa pihaknya telah dibajak 99 persen. Tahun lalu Amerika merasa dirugikan 92 juta dollar AS atau sekitar Rp 206 milyar. Kemarahan Amerika telah ditunjukkan pada Cina, antara lain dengan saksi berupa penerapan 100 persen tarif terhadap sejumlah barang impor dari Cina senilai 1,08 milyar dollar AS. Washington mengungkapkan bahwa pembajakan hak paten AS, hak cipta, dan merek dagang di Cina merugikan industri AS hampir sekitar 1 milyar dollar AS setahun, meski akhirnya bisa berdamai. Sekarang giliran Indonesia -- bersama-sama dengan Afrika Selatan, Argentina dan Persatuan Emirat Arab (UAE) -- termasuk di antara sejumlah negara yang akan mendapat pengamatan khusus AS di bidang pembajakan HAKI tahun ini (priority list). Padahal, semula negara-negara ini ditempatkan di dalam daftar 24 negara yang tidak urgen mendapat pengawasan AS (watch list). Produk ekspor Indonesia yang sangat membutuhkan pasar AS dikhawatirkan menjadi sasaran sanksi pembalasan AS, jika Indonesia dinilai belum mampu memberikan perlindungan terhadap hak milik intelektual. Tindakan balasan AS itu dapat dilakukan kepada produk lain yang dinilai memiliki potensi besar untuk dipasarkan ke AS. *** APA yang terjadi di Cina berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pembajakan yang terjadi di Cina sudah merupakan usaha serius, bahkan ada yang menyebut sebagai sebuah industri. "Apa yang terjadi di sini sebenarnya masih dalam taraf menggandakan, tetapi tidak untuk diperdagangkan dengan serius. Sedangkan yang terjadi di Cina sudah mencapai taraf industri, bahkan diekspor ke luar negeri," kata Kusmartono, Sekjen Aspiluki (Asosiasi Piranti Lunak Indonesia). Penggandaan yang terjadi di Indonesia dilakukan bukan semata- mata karena mahalnya harga piranti lunak atau program komputer, tetapi lebih banyak karena mudah dikopi, selain juga ketidakmengertian tentang adanya larangan mengkopi. Untuk software asli, pembeli mendapatkan kartu lisensi, yaitu izin untuk memakai. Jadi yang diperjualbelikan di sini bukan disketnya, tetapi izin memakainya. "Dalam undang-undang kita masih belum jelas, karena yang dilarang hanya menggandakannya saja," tambah Kusmartono. Sekjen Aspiluki ini juga membantah kalau pembajakan di Indonesia sudah 99 persen. Katanya, tidak semua produsen komputer membajak piranti lunak. Dikatakan, di Indonesia sekitar 50 persen komputer adalah dari produk yang sudah memiliki nama (branded), yang tentu tidak akan berani ambil risiko menjual piranti lunak bajakan. "Pembajakan mungkin hanya sekitar 60 persen dari yang dikatakan BSA, sekitar 50 juta dollar. BSA hanya menghitung secara bulatnya saja, yaitu dari jumlah PC (komputer pribadi) yang terjual," ujar Sekjen Aspiluki. Demikian pula menyangkut perekaman CD (compact disc) di Indonesia yang diketahui baru memiliki sebuah perusahaan. AS memperkirakan 29 perusahaan CD di kawasan pantai selatan Cina dan sebagian dari operasi pembajakan itu berhubungan dengan pejabat pemerintah Cina. Cina diperkirakan mampu memproduksi 75 juta kopi bajakan CD, laser disc, dan CD-ROM dalam setahun. Sekitar 5 juta kopi dijual di Cina sedang sisanya diekspor ke negara-negara lain. AS memperkirakan, perusahaan film, musik dan industri lain dirugikan sekitar 827 juta dollar akibat pembajakan di Cina. Di samping itu, industri perangkat lunak AS diperkirakan dirugikan sekitar 322 juta dollar AS setahun. Perusahaan piranti lunak komputer dunia, berdasarkan data yang dikumpulkan aliansi perusahaan piranti lunak BSA (Business Software Alliance), tahun 1993 menderita kerugian 12,8 milyar dollar AS lebih akibat pembajakan piranti lunak. Kerugian terbesar akibat pembajakan ini tercatat di Eropa mencapai 4,9 milyar dollar AS atau sekitar 38 persen, diikuti Asia 3,9 milyar dollar AS (31 persen), serta Amerika Serikat, dan Kanada 2,4 milyar dollar AS (19 persen). *** MENGHADAPI ancaman ini, Mensesneg Moerdiono yang memimpin Tim Keppres 34 berjanji untuk terus meningkatkan penegakan hukum di bidang HAKI. Tim Keppres 34 adalah tim kerja yang bertugas menyelesaikan masalah yang timbul dalam pelaksanaan perundang- undangan mengenai hak cipta, merek, dan paten. Bahkan tim yang diketuai Mensesneg itu telah selesai menyusun tiga RUU, yaitu tentang Perubahan UU Hak Cipta, UU Paten dan UU Merek yang akan segera diajukan ke DPR bulan Juli mendatang. Tiga RUU baru yang mengatur desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu (integrated circuits), dan rahasia dagang diharapkan diajukan ke DPR tahun 1996. Jika tiga RUU terakhir ini telah disetujui, berarti Indonesia sudah memiliki enam UU berkaitan dengan HAKI. Dengan demikian masih ada dua dari delapan sasaran dalam persetujuan TRIPs (Perdagangan yang berkaitan dengan aspek HAKI) yang belum dipersiapkan. Dalam hal penegakan hukum, selain meningkatkan frekuensi razia, pemerintah juga berjanji memperberat hukuman terhadap pelanggar HAKI. Berbagai upaya menangani pembajakan pernah dilakukan pemerintah Indonesia. Menjelang berlangsungnya sidang APEC, misalnya, polisi berhasil menggerebek 12.700 kaset video bajakan di kawasan Glodok. Juga setahun sebelumnya, pihak kepolisian menangkap pengganda perangkat lunak dan buku manualnya. *** HAKI bagaimanapun masih merupakan hal baru, sehingga masih banyak kendala yang harus dihadapi. Maka, tidaklah mengherankan apabila masyarakat Cina mengecam AS sombong dan kurang bersabar, karena mereka terus menekan dan dengan ancaman akan memberikan sanksi perdagangan terhadap Cina. Sampai saat ini UU yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) di Indonesia baru tiga buah, yaitu hak cipta tahun 1987 (perlindungan atas ciptaan di bidang karya tulis, ilmu pengetahuan dan seni), hak paten tahun 1989 (karya-karya teknologi), hak merek tahun 1992. Perlindungan terhadap hak cipta sebenarnya sudah memiliki sejarah lama. Sebelum memiliki hak cipta, perlindungan hukum atas ciptaan di Indonesia masih didasarkan pada Auterswet tahun 1912. Baru tahun 1982 berhasil dibuat UU Hak Cipta dan ini pun tidak berlangsung lama dengan munculnya UU Hak Cipta nomor 7 tahun 1987. UU ini ternyata masih harus direvisi sesuai dengan perjanjian TRIPs. Jadi jika dilihat dari sudut perundang-undangannya saja masih terdapat banyak kekurangan. Ini belum bicara soal kuantitas dan kualitas aparatnya. Jelas tidak cukup satu dua tahun untuk bisa mencetak tenaga yang cukup menangani masalah HAKI. Untuk menangani masalah administratif, seperti pendaftaran, misalnya, dari 10.000 permohonan hak paten, baru 178 buah yang ditangani. Dari 32.000 permohonan hak merek dagang, baru ditangani 5.000 lebih. Permohonan hak cipta juga kini sudah mencapai lebih dari 20.000 dan yang terdaftar 10.000, sedangkan yang ditolak 5.000 lebih. Di luar itu, masih banyak masalah teknis yang terkait, misalnya undang-undang yang ternyata kalah cepat dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Atau juga kesulitan mengenali semua ciri-ciri suatu barang bajakan atau ciptaan asli. (AW Subarkah) KOMPAS edisi Senin 22 Mei 1995 Halaman: 18 Penulis: SUBARKAH, AW

Hak Paten: Pematenan Nama Mendoan Jadi Polemik

Pematenan hak nama mendoan oleh seorang pengusaha di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menimbulkan polemik. Pemerintah Kabupaten Banyumas ber...