Selasa, 30 Oktober 2001

Banyak Pelaku Usaha Batik Belum Tahu Pendaftaran HKI

Banyak pelaku usaha kerajinan batik yang belum mengetahui pentingnya pendaftaran paten atau Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) produk kain batik karena proses pendaftarannya belum disosialisasikan. Selain itu, pelaku usaha kerajinan batik cenderung merasa puas dengan produk-produk yang sudah terjual. Ada juga keluhan soal mahalnya biaya pendaftaran. Hal itu diungkapkan beberapa pengusaha kerajinan batik yang ditemui dalam Pameran Batik Nusantara, di Jakarta, Senin (29/10). "Perajin batik umumnya pengusaha kecil. Mereka hanya bisa bikin dan menjual ke pengusaha lain," kata Tatik, pemilik merek dagang batik "Tatik Sri Harta Batik." Hadir dalam pembukaan acara itu Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Rini Soewandi dan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri dan Dagang Kecil dan Menengah (IDKM) Marwoto. Sebelumnya, Dirjen IDKM Marwoto mengatakan, beberapa produk ekspor Indonesia sudah terdaftar di luar negeri. Salah satu corak kain batik sudah terdaftar di Belanda. Selain itu, beberapa produk mebel rotan yang diproduksi perajin di Cirebon, paten dan desain industrinya sudah didaftarkan di Amerika Serikat (AS). Pemilik perusahaan batik tulis "Sadewa", Sukamti, mengatakan, terlalu banyak produk batik yang harus didaftarkan jika paten batik didaftarkan. "Dalam satu tahun, kita bisa membuat 300 motif dan dalam satu bulan bisa memproduksikan 3.000 lembar batik," katanya. Selain itu, lanjut Sukamti, biaya pendaftaran juga agak mahal, yaitu sekitar Rp 500.000 sampai Rp 600.000. Tatik mengatakan, pihaknya sudah mendaftarkan hak paten kain batik dengan merek dagang "Tatik Sri Harta Batik" dengan memberikan syarat pendaftaran. Namun, sudah hampir dua bulan ia belum tahu tindak lanjutnya. Biaya pendaftaran paten di daerah juga mahal, yaitu mencapai Rp 1,2 juta. Tatik menambahkan, selama ini kebanyakan pengusaha kain batik sudah merasa puas dengan keuntungan dari penjualan kain batik. Dengan demikian, kebanyakan pengusaha kerajinan batik belum menyadari pentingnya perlindungan masalah HKI tersebut. Sementara itu Marwoto mengatakan, batik merupakan komoditas andalan yang mempunyai prospek pemasaran yang cukup cerah baik pada pasar dalam negeri maupun luar negeri. Nilai ekspor produk batik tahun 2000 mencapai 322 juta dollar AS. Nilai itu meningkat 32,5 persen dibandingkan dengan nilai ekspor tahun sebelumnya yang 243 juta dollar AS. (fer) KOMPAS edisi Selasa 30 Oktober 2001 Halaman: 14 Penulis: fer

Sabtu, 20 Oktober 2001

Kesadaran Paten Rendah

Perhatian bangsa Indonesia pada perlindungan karya intelektual masih rendah sehingga banyak desain tradisional justru dipatenkan pihak asing di luar negeri. Padahal, hanya diperlukan waktu tiga bulan untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan desain, jauh lebih singkat dibanding pemrosesan paten yang memakan waktu lebih dari satu tahun. Demikian diungkapkan Kepala Sub-bidang Pemasyarakatan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Kardjono dalam jumpa pers tentang "Forum Tekno Bisnis, Salah Satu Alternatif untuk Pemberdayaan Potensi Daerah", di Jakarta pekan ini. Saat ini jumlah desain produk Indonesia yang didaftar di Ditjen HaKI hanya beberapa, sebaliknya desain dari luar negeri mencapai sekitar 600. Padahal, pendaftaran hasil karya ini merupakan salah satu cara mencegah pematenan oleh pihak asing yang tergolong pembajakan kekayaan intelektual tersebut. Upaya lain yang harus dilakukan dalam melindungi karya tradisional adalah dengan melakukan dokumentasi karya melalui komputer. Dalam file di komputer yang secara otomatis merekam tanggal penulisannya, dapat dijadikan bukti untuk pendaftaran di lembaga paten. "Upaya sosialisasi tentang pentingnya perlindungan HaKI di daerah-daerah juga perlu. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun Forum Tekno Bisnis, yang akan memberikan asistensi pada industri kecil dan menengah dalam berbagai aspek, antara lain dalam hal teknologi, manajemen, pemasaran, dan perlindungan HaKI," kata Kepala Bidang Pengembangan Pemasaran Iptek Kantor Menneg Ristek Sigit Soebradja. Sigit membenarkan adanya upaya pembajakan karya desain tradisional ukiran dan batik di Jepara dan Cirebon. Berdasarkan penelitian di kedua tempat itu, 80-90 persen desain tradisional karya perajin lokal telah didaftarkan di lembaga paten di Jepang dan Amerika Serikat. Modusnya dengan datang ke pusat-pusat kerajinan. Mereka menetap untuk memberikan bantuan teknis, tetapi ujung-ujungnya mendaftarkan karya desain perajin setempat di luar negeri atas namanya. (yun) KOMPAS edisi Sabtu 20 Oktober 2001 Halaman: 10 Penulis: yun

Hak Paten: Pematenan Nama Mendoan Jadi Polemik

Pematenan hak nama mendoan oleh seorang pengusaha di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menimbulkan polemik. Pemerintah Kabupaten Banyumas ber...