Jumat, 06 November 2015

Hak Paten: Pematenan Nama Mendoan Jadi Polemik

Pematenan hak nama mendoan oleh seorang pengusaha di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menimbulkan polemik. Pemerintah Kabupaten Banyumas berencana melayangkan surat protes kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menyetujui pendaftaran hak paten tersebut. Nama mendoan dinilai menjadi milik umum sebagai kekayaan kuliner lokal Banyumas yang terkenal dengan tempe mendoannya. Fudji Wong, pengusaha di Purwokerto, mendaftarkan merek mendoan ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Kemenkumham pada 15 Mei 2008. Dua tahun kemudian, dia mendapat sertifikat IDM000237714 yang terdaftar pada 23 Februari 2010 dan berlaku hingga 15 Mei 2018. Kendati hak paten sudah dikeluarkan sejak lama, Pemkab Banyumas baru mengetahui hal tersebut. Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan, pihaknya akan menyurati Kemenkumham dan Fudji. ”Pemkab segera mengajukan protes,” ujarnya, Kamis (5/11). Husein mengakui, pemkab terlambat mematenkan nama mendoan yang mengakibatkan nama itu telah menjadi hak paten perorangan. Untuk itu, pihaknya akan berunding dengan Fudji untuk mendapatkan solusi. Menurut Achmad, nama mendoan tidak boleh dipatenkan oleh perseorangan meskipun hanya sebagai merek. Jika nama mendoan dimiliki perseorangan, dikhawatirkan akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Kepala Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Banyumas Agus Nur Hadie mengatakan, mendoan merupakan nama umum dari makanan khas Banyumas yang terbuat dari tempe kedelai. Jika digunakan sebagai merek, berarti menyalahi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Namun jika nama mendoan didaftarkan sebagai hak dagang, Pemkab Banyumas bakal menyarankan untuk dilakukan perubahan dengan tidak menggunakan mendoan karena nama tersebut sudah melekat dengan masyarakat Banyumas. Saat dikonfirmasi, Fudji mengatakan, niat mendaftarkan mendoan menjadi hak paten merek dagang dilakukan dengan tujuan supaya merek ini tidak keluar dari masyarakat Banyumas. ”Saya tidak punya niatan merampas hak atas nama mendoan dari masyarakat Banyumas,” katanya. Seusai mendapat hak eksklusif tersebut, dia juga mengaku tidak pernah memakai nama mendoan. Dia juga tidak pernah menggugat pedagang-pedagang mendoan. (GRE) KOMPAS edisi Jumat 6 November 2015 Halaman: 22 Penulis: GRE

Sabtu, 19 Desember 2009

Fasilitasi Pendaftaran HAKI * Tidak Ada Desain yang Benar-benar Orisinal

Meskipun menggantungkan hidup pada merek (label), sebagian besar pelaku industri pakaian jadi (clothing) di Yogyakarta belum mendaftarkan hak atas kekayaan intelektual atas merek. Prosedur yang lama dan berbelit-belit membuat mereka enggan. Wakil Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK) Yogyakarta Aras Suryo mengatakan, dari 180 merek pakaian jadi yang terdaftar sebagai anggota KICK Yogyakarta, pemilik sertifikat HAKI tak sampai 50 persen. "Biayanya sebenarnya tidak mahal, ratusan ribu sampai sekitar satu juta. Tapi, waktunya sangat lama sehingga banyak yang malas mengurus," ujarnya, di Gedung Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta, Jumat (18/12). Menurut Aras, kondisi industri pakaian jadi di Yogyakarta sangat jauh berbeda dengan Bandung. Di Bandung, pemerintah setempat memberi pelayanan satu atap sehingga proses mengurus HAKI mudah dan cepat. Pelaku industri sangat terbantu sehingga mereka lebih antusias mendaftarkan HAKI mereknya. Rentan dibajak HAKI merek sangat penting bagi pemilik industri pakaian jadi. Sebab mereka yang punya nama sangat rentan dibajak. Padahal membesarkan nama sebuah merek memerlukan usaha dan waktu panjang. "Kemarin ada label clothing di kota lain dibajak. Setelah digugat, pemilik label akhirnya mendapat gantu rugi. Dari situ, kami belajar bahwa mendaftar HAKI sangat penting karena industri clothing itu memang hidup dari label," ujar Aras. Menurut dia, merek sangat penting karena pencinta produk pakaian jadi biasa mengenali suatu produk berdasarkan merek. Bagi pelaku sudah besar dan terkenal, merek yang tercantum bahkan lebih menentukan dibandingkan dengan desain produknya. "HAKI label lebih penting dari HAKI desain. Lagi pula sulit mengklaim desain karena tidak ada desain yang benar-benar orisinal," tuturnya. Melihat kondisi itu, Aras berharap Pemerintah Provinsi DIY memberi fasilitas guna mendukung tumbuhnya industri pakaian jadi di DIY. Apalagi, industri yang baru muncul di DIY tahun 2002 terbukti mampu menyerap tenaga kerja dan memberi pemasukan lewat pajak. Sebelumnya, Ketua KICK Yogyakarta Diana Achmad mengatakan, sejak 2007 festival pakaian jadi menjadi ajang pembuktian bahwa industri kreatif pakaian jadi di DIY bisa berkembang dan menyerap ribuan tenaga kerja. Dalam KICK festival pertengahan tahun lalu, misalnya, total omzet yang diterima 60 peserta selama tiga hari mencapai Rp 4,7 miliar. (ARA) KOMPAS Jogja edisi Sabtu 19 Desember 2009 Halaman: 2 Penulis: Ara

Kamis, 09 Februari 2006

Kinerja KeLembagaan: Ditjen HAKI Baiknya Mandiri

Untuk meningkatkan kinerja dan tingkat pelayanan pendaftaran karya cipta dan merek dagang di Indonesia, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia diusulkan menjadi badan yang berdiri sendiri dan mandiri. "Dengan status mandiri, dana pendaftaran karya cipta dan merek dagang yang diperoleh bisa dikelola badan baru tersebut untuk peningkatan pelayanan dan penanganan merek dagang," ujar Kepala Subdirektorat Pemeriksaan Merek, Direktorat Merek, Ditjen HAKI Dephuk dan HAM T Didik Taryadi dalam diskusi yang digelar Biro Kehakiman Hukum dan HAM, Deputi Bidang Politik, Sekretariat Wakil Presiden, Rabu (8/2) di Jakarta. Menurut Didik, dana yang disetorkan Ditjen HAKI ke kantor kas negara dari hasil pendaftaran merek setiap tahunnya sekitar Rp 50 miliar. "Jumlah itu dapat dikembalikan lagi bagi peningkatan pelayanan pendaftaran merek jika dana itu bisa dikelola sendiri," ujar Didik. Sebelumnya, peserta diskusi menggugat pelayanan pendaftaran merek di Direktorat Merek yang dinilai buruk, terkesan "compang-camping", sangat lamban, dan tidak profesional. Didik mengakui, kendala lebih berat adalah terbatasnya dana bagi peningkatan pelayanan di Ditjen HAKI. Akibatnya, kelengkapan perangkat dan akomodasi di lingkungan ditjen tersebut masih kurang memadai. Bahkan, untuk pengecekan merek yang didaftarkan, pihaknya masih bergantian untuk menggunakan Buku Data Merek yang disusun alfabetis. "Kalau Buku Merek abjad A, misalnya masih dipakai petugas lain, maka kami harus menunggu untuk bisa menggunakannya lagi," ujarnya. Untuk mengantisipasi meningkatnya pendaftaran merek, Ditjen HAKI mulai menyusun basis data TI bagi seluruh merek yang sudah didaftar. Sejak tahun 2004, sebagian data sudah masuk ke basis data Direktorat Merek. "Saat ini jumlah merek yang didaftarkan di Indonesia tergolong paling tinggi dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya. Dalam setahun bisa 54.800 merek yang didaftarkan. Singapura saja tercatat hanya sekitar 20.000 merek," ungkap Didik.(har) KOMPAS edisi Kamis 9 Februari 2006 Halaman: 5 Penulis: har

Selasa, 27 Juli 2004

Pemulia Tanaman Segera Mendapatkan Hak Khusus PVT

Para pemulia (orang yang merakit atau menemukan dan mengembangkan suatu varietas) tanaman akan mendapat hak perlindungan varietas tanaman yang merupakan hak khusus yang diberikan negara untuk menggunakan varietas hasil pemuliaannya. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk mendorong penemuan varietas baru dan industri benih yang kompetitif. Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian Memed Gunawan dalam Temu Koordinasi Kehumasan Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) di Jakarta, Rabu (26/5), mengatakan, setelah disahkan Undang-Undang (UU) No 29/2000 tentang PVT akan dilanjutkan dengan pengesahan peraturan pemerintah. Selanjutnya untuk langkah operasional, tengah disusun draf Keputusan Menteri Pertanian tentang PVT. Dalam pertemuan itu dibahas draf yang akan diajukan ke Menteri Pertanian. Bila telah disetujui, maka dalam waktu dekat bisa diajukan permohonan hak PVT oleh para pemulia tanaman. Dengan adanya Keputusan Menteri Pertanian itu, diharapkan ada perlindungan hukum atas kekayaan intelektual terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman. "Sudah selayaknya kepada penemu varietas baru diberi penghargaan berupa perlindungan hukum atas kekayaan intelektual dalam menghasilkan varietas tanaman, termasuk dalam menikmati manfaat ekonomi dan hak-hak pemuliaan lainnya," kata Memed. Perlindungan hukum tersebut sekaligus merupakan pelaksanaan dari berbagai kewajiban internasional seperti dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang antara lain mewajibkan negara anggotanya melaksanakan peraturan di bidang hak atas kekayaan intelektual. Memed mengatakan, adanya peraturan tentang perlindungan varietas tanaman akan mendorong dihasilkannya varietas unggul yang baru, unik, seragam, dan stabil (BUSS). Hal ini akan mendorong pula pengembangan industri benih yang lebih kompetitif. "Varietas yang memenuhi unsur BUSS diharapkan dapat memenuhi selera pasar dalam negeri maupun luar negeri. Peraturan itu juga dilandasi prinsip-prinsip dasar yang mempertemukan keseimbangan kepentingan umum dan pemegang hak PVT," katanya. Terkait dengan draf SK Mentan itu, bila kelak sudah disahkan, maka pemohon hak PVT bisa segera melakukan pendaftaran dengan melampirkan sejumlah persyaratan administrasi seperti keabsahan dan biaya pendaftaran. Mengenai biaya, dalam draf itu dicantumkan antara lain biaya permohonan pendaftaran hak PVT, biaya pencatatan dan pengalihan, biaya tahunan, biaya petikan daftar umum, biaya salinan sertifikat, dan permohonan surat bukti hak prioritas. Sedangkan untuk konsultan dikenakan biaya pendaftaran yang besarnya Rp 5 juta untuk tiap-tiap konsultan. Permohonan hak PVT bisa dilakukan oleh pemulia, orang atau badan hukum yang mempekerjakan pemulia atau orang yang memesan varietas dari pemulia, ahli waris, penerima lebih lanjut hak atas varietas tanaman yang bersangkutan, serta konsultan PVT. Syarat bagi konsultan PVT adalah terdaftar di kantor PVT dan menjaga kerahasiaan varietas dan seluruh dokumen permohonan hak PVT sampai dengan tanggal diumumkannya permohonan hak PVT bersangkutan. (MAR) KOMPAS edisi Kamis 27 Mei 2004 Halaman: 15 Penulis: mar

Selasa, 30 Oktober 2001

Banyak Pelaku Usaha Batik Belum Tahu Pendaftaran HKI

Banyak pelaku usaha kerajinan batik yang belum mengetahui pentingnya pendaftaran paten atau Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) produk kain batik karena proses pendaftarannya belum disosialisasikan. Selain itu, pelaku usaha kerajinan batik cenderung merasa puas dengan produk-produk yang sudah terjual. Ada juga keluhan soal mahalnya biaya pendaftaran. Hal itu diungkapkan beberapa pengusaha kerajinan batik yang ditemui dalam Pameran Batik Nusantara, di Jakarta, Senin (29/10). "Perajin batik umumnya pengusaha kecil. Mereka hanya bisa bikin dan menjual ke pengusaha lain," kata Tatik, pemilik merek dagang batik "Tatik Sri Harta Batik." Hadir dalam pembukaan acara itu Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Rini Soewandi dan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri dan Dagang Kecil dan Menengah (IDKM) Marwoto. Sebelumnya, Dirjen IDKM Marwoto mengatakan, beberapa produk ekspor Indonesia sudah terdaftar di luar negeri. Salah satu corak kain batik sudah terdaftar di Belanda. Selain itu, beberapa produk mebel rotan yang diproduksi perajin di Cirebon, paten dan desain industrinya sudah didaftarkan di Amerika Serikat (AS). Pemilik perusahaan batik tulis "Sadewa", Sukamti, mengatakan, terlalu banyak produk batik yang harus didaftarkan jika paten batik didaftarkan. "Dalam satu tahun, kita bisa membuat 300 motif dan dalam satu bulan bisa memproduksikan 3.000 lembar batik," katanya. Selain itu, lanjut Sukamti, biaya pendaftaran juga agak mahal, yaitu sekitar Rp 500.000 sampai Rp 600.000. Tatik mengatakan, pihaknya sudah mendaftarkan hak paten kain batik dengan merek dagang "Tatik Sri Harta Batik" dengan memberikan syarat pendaftaran. Namun, sudah hampir dua bulan ia belum tahu tindak lanjutnya. Biaya pendaftaran paten di daerah juga mahal, yaitu mencapai Rp 1,2 juta. Tatik menambahkan, selama ini kebanyakan pengusaha kain batik sudah merasa puas dengan keuntungan dari penjualan kain batik. Dengan demikian, kebanyakan pengusaha kerajinan batik belum menyadari pentingnya perlindungan masalah HKI tersebut. Sementara itu Marwoto mengatakan, batik merupakan komoditas andalan yang mempunyai prospek pemasaran yang cukup cerah baik pada pasar dalam negeri maupun luar negeri. Nilai ekspor produk batik tahun 2000 mencapai 322 juta dollar AS. Nilai itu meningkat 32,5 persen dibandingkan dengan nilai ekspor tahun sebelumnya yang 243 juta dollar AS. (fer) KOMPAS edisi Selasa 30 Oktober 2001 Halaman: 14 Penulis: fer

Sabtu, 20 Oktober 2001

Kesadaran Paten Rendah

Perhatian bangsa Indonesia pada perlindungan karya intelektual masih rendah sehingga banyak desain tradisional justru dipatenkan pihak asing di luar negeri. Padahal, hanya diperlukan waktu tiga bulan untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan desain, jauh lebih singkat dibanding pemrosesan paten yang memakan waktu lebih dari satu tahun. Demikian diungkapkan Kepala Sub-bidang Pemasyarakatan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Kardjono dalam jumpa pers tentang "Forum Tekno Bisnis, Salah Satu Alternatif untuk Pemberdayaan Potensi Daerah", di Jakarta pekan ini. Saat ini jumlah desain produk Indonesia yang didaftar di Ditjen HaKI hanya beberapa, sebaliknya desain dari luar negeri mencapai sekitar 600. Padahal, pendaftaran hasil karya ini merupakan salah satu cara mencegah pematenan oleh pihak asing yang tergolong pembajakan kekayaan intelektual tersebut. Upaya lain yang harus dilakukan dalam melindungi karya tradisional adalah dengan melakukan dokumentasi karya melalui komputer. Dalam file di komputer yang secara otomatis merekam tanggal penulisannya, dapat dijadikan bukti untuk pendaftaran di lembaga paten. "Upaya sosialisasi tentang pentingnya perlindungan HaKI di daerah-daerah juga perlu. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun Forum Tekno Bisnis, yang akan memberikan asistensi pada industri kecil dan menengah dalam berbagai aspek, antara lain dalam hal teknologi, manajemen, pemasaran, dan perlindungan HaKI," kata Kepala Bidang Pengembangan Pemasaran Iptek Kantor Menneg Ristek Sigit Soebradja. Sigit membenarkan adanya upaya pembajakan karya desain tradisional ukiran dan batik di Jepara dan Cirebon. Berdasarkan penelitian di kedua tempat itu, 80-90 persen desain tradisional karya perajin lokal telah didaftarkan di lembaga paten di Jepang dan Amerika Serikat. Modusnya dengan datang ke pusat-pusat kerajinan. Mereka menetap untuk memberikan bantuan teknis, tetapi ujung-ujungnya mendaftarkan karya desain perajin setempat di luar negeri atas namanya. (yun) KOMPAS edisi Sabtu 20 Oktober 2001 Halaman: 10 Penulis: yun

Kamis, 24 Agustus 2000

Pendaftaran HAKI Bisa di Daerah

Pendaftaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)-seperti hak paten, merek, dan hak cipta-yang selama ini harus dilakukan di kantor Direktorat Jenderal HAKI di Tangerang, kini bisa dilakukan di daerah. Pendaftaran di Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Hukum dan Perundang-undangan di setiap propinsi seluruh Indonesia itu, merupakan bagian dari perwujudan otonomi daerah. Hal itu juga mengingat pendaftar HAKI dari daerah tidak bisa dianggap sedikit. Demikian penjelasan Dirjen HAKI A Zen Umar Purba kepada Kompas di Jakarta, Selasa (22/8). "Dengan membuka pendaftaran HAKI di daerah, masyarakat akan lebih terlayani," jelasnya. Walaupun pendaftaran HAKI bisa dilakukan di daerah, kata Purba, pemeriksaan substantif dan keputusan atas permohonan hak itu tetap diberikan Menteri Hukum dan Perundang-undangan melalui Dirjen HAKI. Ini sesuai dengan konsepsi HAKI, yakni hak yang diberikan oleh negara kepada pihak tertentu atas suatu karya intelektual. Dengan sistem HAKI, jerih payah penemu atau pemilik karya tersebut dihargai dan diberi monopoli, sehingga menguntungkannya dengan persyaratan tertentu. "Dengan begitu, keputusan pemberian HAKI tak mungkin diberikan atau didelegasikan kepada Kepala Kanwil setempat," lanjut Purba lagi. Diharapkan, pemberian kesempatan pendaftaran HAKI di daerah itu tak menambah birokrasi baru atau menambah beban pencari HAKI. Karenanya, pendaftaran di daerah itu masih bersifat optional. "Masyarakat bebas memilih. Kalau tetap ingin datang ke kantor pusat Ditjen HAKI dan mendaftarkan temuannya di sini, silakan. Mau mendaftarkan di daerah juga bisa," paparnya. Pendaftaran HAKI di daerah mulai efektif tahun 2000 ini. Ditjen HAKI pun mempersiapkan tenaga di daerah melalui pelatihan. Purba mengingatkan pula, HAKI merupakan instrumen penting dalam investasi. Sebab itu, investor asing selalu menanyakan apakah elemen HAKI miliknya, seperti teknologi, merek, serta hak cipta dihargai di negeri ini. Kalau mereka meragukan perlindungan itu, tidak jarang rencana investasi pun dibatalkan. (tra) KOMPAS edisi Kamis 24 Agustus 2000 Halaman: 10 Penulis: tra

Hak Paten: Pematenan Nama Mendoan Jadi Polemik

Pematenan hak nama mendoan oleh seorang pengusaha di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menimbulkan polemik. Pemerintah Kabupaten Banyumas ber...